Pertarungan
Wacana di Media Massa
DASRUL SS, M.Si/ balok sabaruddin
SS,M.Si
Apa yang terpikirkan oleh mahasiswa
ketika mendengar mata kuliah Media dan Masyarakat Konsumen?
Dari nama mata kuliah tersebut banyak
jawaban yang akan muncul. Pertama,
berkaitan dengan media. Kedua, berkaitan dengan masyarakat konsumen.Ketiga,
berkaitan dengan media dan konsumen. Untuk yang ketiga ini, juga banyak
penafsiran-penafsiran yang muncul. Penafsiran itu berkaitan dengan kapitalisme.
Media, di sini, dikaitkan dengan sistem pemasaran produk-produk kapitalis.
Media lebih mengarah kepada media massa yang lebih sering mempertontonkan iklan
produk-produk kapitalis dalam mempengaruhi masyarakat untuk membeli produknya.
Iklan yanag ada di media massa secara langsung atau tidak langsung menekan
masyarakat untuk membeli produknya sehingga masyarakat menjadi konsumtif.
Akan tetapi, apakah media (massa) hanya
sebagai alat kapaitalis (dengan sejuta produknya) untuk memaksa masyarakat
dalam membeli produknya? Ternyata tidak. Media (massa) tidak hanya untuk para
pengiklan saja. Media (massa) lebih dari itu. Media (massa) juga sebagai
tempat/wadah dalam pertarungan sebuah wacana. Misalnya, pertarungan gender
antara kaum feminis dengan masyarakat adat Bali pada media (massa) Bali Post, Majalah budaya Sarad dan Bali Lain (dalam tulisan Helen Creese: Reading The Bali Post: Women and
Representation in Post-Suharto); wacana Kristen dengan Islam pada Kompas
dan Republika (dalam tulisan Buni Yani: Reporting
The Maluku Sectarian Conflict: The Politics of Editorship in Kompas and Republika
Dailies).
Pertarungan
gender di dalam Bali Post, majalah budaya
Sarad dan Bali Lain
Era
pasca-Soeharto yang demokratis
reformasi
dibawa dengan harapan peluang baru untuk perubahan dalam struktur sosial
dan politik. Era
ini terjadi peningkatan
aktivitas perempuan
dalam berbagai bidang, khususnya di tingkat akar rumput. Misalnya: keikutsertaan perempuan
dalam pemilu, sistem demokrasi, dan pertarungan dalam pilpres
secara langsung. Keberhasilan perempuan di tingkat nasional, misalnya
menjadikannya Megawati Soekarnoputri sebagai wakil presiden pada tahun 1999 dan sebagai Presiden pada tahun 2001. Padahal, di awal permulaan dalam
perubahan sosial politik, sistem sosial politik dalam praktiknya masih
didominasi oleh kaum laki-laki.
Bagaimana
pergerakan perempuan di Bali?
Jatuhnya
Soeharto
muncul adanya optimisme perempuan Bali dalam segala bidang, tanpa membatasi
laki-laki dan perempuan. Ini terlihat pada sebuah komentar editorial di edisi
April 2000 pada
majalah budaya
Bali,
yaitu: "Ketika
lorong menuju demokrasi dibuka, tampaknya wanita telah menemukan arena besar di mana untuk
memberikan suara dan perjuangan terhadap apa yang begitu lama telah mereka impikan.” Artikel ini berusaha untuk
mengeksplorasi definisi
gender, isu gender dan peran perempuan Bali pasca-Soeharto di media massa Bali.
Padahal
sejak akhir
tahun 2002, kampanye media untuk mendefinisikan identitas Bali tentang slogan 'Ajeg Bali’. Seperti kita ketahui bahwa, secara harfiah, ajeg berarti 'kuat' tetapi juga
menyiratkan kegigihan dan keteguhan. Kegigihan dan kekuatan itu mencakup barbagai aspek yang
berkaitan dengan adat Bali, misalnya: agama, tradisi dan budaya (adat, agama, konsumsi sektoral). Di sini juga
menyangkut dorongan dalam stabilitas dan kepastian budaya Bali dalam menghadapi dunia kekinian. Wacana ajeg Bali ini juga sebagai usaha untuk menentukan agenda masa
depan Bali dalam banyak hal tanpa mengabaikan atau meminggirkan keprihatinan nasional. Di sini, dalam hal ini Ajeg Bali, masyarakat Bali mencoba untuk melepaskan diri atau
tidak bergantung pada
pemerintah pusat dalam
hal melindungi kekayaan sosial budayanya. Bali
menjadi suatu yang mandiri. Ini dikarenakan Ajeg Bali dapat dipandang
sebagai alat yang ampuh dalam perjuangan untuk peningkatan kesejahteraan di bidang ekonomi bagi masyarakat
Bali.
Akan
tetapi, bagi pandangan lain, Ajeg Bali merupakan re-tradisionalisasi dan kembali pada nostalgia ‘kemurnian’ yang dirasakan orang Bali pada masa lampau.
Identitas
kontemporer Bali dalam hal
ini ciri-ciri budaya yang melibatkan perhatian terhadap isu-isu
gender dan peran penting yang dimainkan oleh perempuan dalam pendefinisian pelestarian nilai-nilai Bali. Wacana identitas Bali ini hanya tertuju terutama pada
wanita
Bali. Bertitik tolak
dari nostalgia dan budaya Bali masa lalu yang otentik sehingga menjadi ekspresi
anti-Barat yang
modern, di mana wanita modern otonom merupakan ancaman
langsung terhadap peran laki-laki dan perempuan tradisional. Isu Gender yang berpusat di Bali membangun keterhubungan di tempat lain
di Asia seperti
Islam revivalisme
dan penciptaan kembali Konfusianisme.
Sejumlah studi terbaru mendokumentasikan dampak dari ketidaksetaraan gender yang terlembagakan
yang dihadapi perempuan Bali. Lyn
Parker dalam bukunya tentang kebangsaan dan kewarganegaraan di Bali, perempuan Bali masih dicegah dari partisipasi penuh sebagai warga negara yang sama karena kekerabatan inheren dalam gender dan dalam praktek-praktek adat. Adat seperti ini merugikan perempuan baik dalam praktek, dari diri pribadi mereka tidak memiliki kebebasan dan akses mereka terhadap peran publik dan serta hak-hak. Perempuan Bali terus menjadi pengecualian dari partisipasi dalam pengambilan keputusan adat laki-laki hanya duduk dan berbicara di tingkat desa-lokal dusun (banjar) dewan, mereka tidak menikmati hak waris yang sama (hanya laki-laki yang dapat mewarisi sawah (irigasi sawah)), dan mereka kehilangan hak asuh anak-anak mereka dalam kasus perceraian. Wanita, terutama wanita pedesaan, juga telah terbukti memiliki akses terbatas pada kesempatan kerja di luar rumah, memiliki tingkat melek huruf yang lebih rendah sebagai akibat dari dekade-dekade sebelumnya yang minim pendidikan, dan menikmati manfaat yang lebih sedikit dari pariwisata karena akses ke industri juga dibagi sepanjang garis gender yang mendukung laki-laki.
Parker dalam bukunya tentang kebangsaan dan kewarganegaraan di Bali, perempuan Bali masih dicegah dari partisipasi penuh sebagai warga negara yang sama karena kekerabatan inheren dalam gender dan dalam praktek-praktek adat. Adat seperti ini merugikan perempuan baik dalam praktek, dari diri pribadi mereka tidak memiliki kebebasan dan akses mereka terhadap peran publik dan serta hak-hak. Perempuan Bali terus menjadi pengecualian dari partisipasi dalam pengambilan keputusan adat laki-laki hanya duduk dan berbicara di tingkat desa-lokal dusun (banjar) dewan, mereka tidak menikmati hak waris yang sama (hanya laki-laki yang dapat mewarisi sawah (irigasi sawah)), dan mereka kehilangan hak asuh anak-anak mereka dalam kasus perceraian. Wanita, terutama wanita pedesaan, juga telah terbukti memiliki akses terbatas pada kesempatan kerja di luar rumah, memiliki tingkat melek huruf yang lebih rendah sebagai akibat dari dekade-dekade sebelumnya yang minim pendidikan, dan menikmati manfaat yang lebih sedikit dari pariwisata karena akses ke industri juga dibagi sepanjang garis gender yang mendukung laki-laki.
Wanita Bali menghadapi tugas harian yang menampung banyak urusan domestik
mereka, pekerjaan
dan tanggung jawab sosial. Ideologi gender dalam orde baru menuntut pria dan wanita memainkan peranan yang
berbeda, peran yang digambarkan sebagai pelengkap dan setara. Selama lebih dari
tiga dekade, tugas domestik, keluarga dan perannya didefinisikan ulang setara dengan pentingnya
program-program sosial pada tingkat nasional, juga sebagai ibu dan
sebagai istri. Di Bali, ideologi gender menemukan gema dan didukung oleh kesejajaran
dengan budaya
patriarkal di Bali dan dalam kemasyarakatan.
Isu-isu
feminis perempuan Bali di dalam kemasyarakatan dipertegas/diunggah di dalam dua
majalah yang ada di Bali, yaitu majalah budaya Sarad dan Bali Lain, selain Bali Post. Langkah ini
merupakan sebagai bentuk kepedulian perempuan Bali di dalam masyarakat
patriakal.Untuk itu, media massa ini sering menampilkan isu-isu gender yang menggarisbawahi pentingnya perempuan dalam wacana
identitas Bali.
Mereka memfokuskan perhatian pada isu-isu perempuan dalam konteks
pembentukan identitas budaya. Walaupun mereka berbeda pandangan terhadap perempuan Bali.
Seperti
yang tertulis di dalam Sarad. Sarad menyangkal saran apapun bahwa perempuan Bali mengalami
penindasan sistematis oleh budaya dan menunjukkan sifat yang terbuka dan demokratis terhadap budaya Bali. Sedangkan, Bali lain
menuliskan/menggambarkan adanya pilihan untuk perempuan Bali dalam mengubah nasib mereka.
Perempuan Bali perlu mengubah punggung mereka dari ('represif') praktek-praktek budaya Bali dan mencari
alternatif di tingkat nasional
dengan model argumen feminis.
Baik Sarad dan
Bali Lain menarik perhatian pada sifat dan definisi perempuan pada budaya di Bali. Media ini berusaha untuk mengenali hak perempuan untuk kesetaraan dalam
pengertian modern, tetapi
pada saat yang
sama mereka
mewacanakan pembatasan kesetaraan sesuai dengan budaya dan gender. Nilai-nilai gender Bali dan peran yang disajikan sebagai mendukung wanita disediakan dengan cara
yang sesuai dengan budaya,
meskipun ada
sedikit yang mampu mendamaikan praktek dan sikap mendukung dengan tujuan dari kebebasan pribadi.
Di
Bali Post, isu-isu perempuan secara eksklusif ditujukan pada isu-isu umum hak asasi
manusia dan
partisipasi
perempuan,
tetapi bukan pada ranah budaya Bali. Ini dibuktikan dengan editorial
pada Bali Post yang hanya sedikit mengyinggung tentang feminism yang ada di
Bali. Bali Post, di sini, terlihat menginginkan di tempat yang aman di antara
feminism dan budaya patriarkal. Ini terlihat dari tema-tema yang muncul di
dalam pemberitaannya. Di sini terlihat adanya pemerkuatan norma-norma
budaya Bali dan untuk melawan dampak negatif dari Barat terhadap wanita, dua
tema utama muncul dalam tulisan-tulisan dari penulis budaya konservatif di Bali Post: pertama, bahwa perempuan
Bali sebagai pembawa tradisi, pengasuh dan pendidik, dan kedua, perempuan Bali sebagaimana telah
dibebaskan oleh budaya mereka
dan agama.
Ya.
Sejak jatuhnya
Soeharto pada tahun 1998, artikel yang diterbitkan di Bali Post telah terlibat secara teratur
dengan masalah identitas gender daerah di
Bali. Dalam konteks yang lebih luas, wacana gender mengenai peran dan tanggung jawab
perempuan Bali yang ada di Bali Post dan majalah budaya seperti Sarad dan
Bali Lain bergema dengan
kebijakan
negara pada
akhir Orde Baru.
Isu Agama (sektarian) dalam Kompas dan
Republika
Isu-isu
atau peristiwa-peristiwa yang direpresentasikan di dalam suatu media tidak
hanya menyangkut tentang masalah budaya atau adat istiadat setempat, seperti
pada Bali Post, majalah budaya Sarad dan Bali Lain. Isu-isu lokal yang diangkat untuk
menjadi isu nasional. Akan tetapi, isu-isu itu tak hanya berkutat pada budaya
lokal atau paham-paham (isme) yang berasal dari Barat. Di Indonesia, isu agama
bisa juga direpresentasikan ke dalam media massa. Contohnya, Kompas dam
Republika yang mengangkat isu/konlik agama yang ada di Maluku.
Isu-isu
sektarian (konflik agama) yang ada di media massa terlihat di Kompas dan
Republika. Buni Yani pernah meneliti hal itu pada penelitian yang berjudul “Reporting
The Maluku Sectarian Conflict: The Politics of Editorship in Kompas and
Republika Dailies.” Buni Yani mencoba untuk melihat konflik agama Islam dengan
agama Kristen yang direpresentasikan pada Kompas dan Republika pada tanggal 19 Januari—12 Maret
1999.
Buni Yani, di dalam
penelitiannya, menyatakan bahwa terjadi adanya perbedaan pemberitaan antara
Kompas dan Republika. Di sini, ada semacam pemihakan terhadap agama tertentu.
Kompas lebih memihak pada agama Kristen, sedangkan Republika lebih memihak pada
agama Islam.
Konflik
Ambon memang memakan banyak korban. Akan tetapi, di dalam pemberitaannya,
jumlah korban pada laporan edisi 23 Januari 1999, Republika melaporkan jumlah
korban lebih banyak dari Kompas. Alasan Republika kemungkinan adalah karena jumlah
korban Muslim di awal konflik lebih banyak sehingga dengan pelaporan tersebut
Republika mencoba menarik perhatian pemerintah terhadap keseriusan konflik.
Keberpihakan Kompas maupun Republika
dalam pemberitaanya ini tidak lepas dari wartawan dan ideologi kedua media
tersebut. Seperti kita ketahui bahwa Kompas lebih dekat dengan ideologi atau
agama Katolik/Kristen, sedangkan Republika lebih dekat dengan agama Islam.
Seperti kita ketahui, bahwa Kompas didirikan pada tahun 1965 oleh sejumlah wartawan Katolik
Cina dan Jawa dalam upaya untuk menyuarakan kepentingan politik Katolik (Hill 1994:83).
Sedangkan, Republika didirikan pada tahun 1993 oleh Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Republika bertujuan untuk menyuarakan kepentingan orang Muslim karena ada persepsi bahwa Muslim terpinggirkan dalam bidang politik dan ekonomi selama
rezim Soeharto.
Semacam Refleksi
Perkuliahan Media dan Masyarakat
Konsumen membawa pemahaman terhadap seluk beluk media massa, termasuk ideologi
yang ada di dalamnya. Dengan mengikuti perkuliahan ini kita seakan dibawa ke
dunia yang penuh dengan representasi. dan bagaimana media massa
merepresentasikan suatu ideologi menurut ideologi yang diemban oleh media massa
itu sendiri.
Setelah mengikuti perkuliahan Media dan
Masyarakat Konsumen, kita seakan diharapkan tidak langsung memakan berita yang
ditulis dalam suatu media massa. Kita seakan dibawa dengan sejuta pertanyaan
kita membawa berita maupuun iklan yang ada di media massa. Dan kita diberita
hak untuk menerima, menolak, maupun mengomentari pemberitaan secara masuk akal
dan benar dalam ranah jurnalistik yang bertanggung jawab
Semoga perkuliahan ini sebagai langkah
atau strategi dalam menulis di media massa. Ini dikarenakan, menulis di media
massa itu juga perlu adanya strategi. Ideologi apa yang akan kita bawa? dan apa
ideologi media massa tersebut?
The Borgata Hotel Casino and Spa Launches in Atlantic City
BalasHapusBorgata Hotel Casino and Spa will 구리 출장샵 debut 강릉 출장샵 a fully integrated 과천 출장샵 online gaming venue with a 진주 출장마사지 retail location, as well as retail Rating: 포항 출장안마 4.6 · 1,077 reviews