Jumat, 01 November 2013

Pertarungan Wacana di Media Massa
DASRUL SS, M.Si/ balok sabaruddin SS,M.Si
Apa yang terpikirkan oleh mahasiswa ketika mendengar mata kuliah Media dan Masyarakat Konsumen?
Dari nama mata kuliah tersebut banyak jawaban yang  akan muncul. Pertama, berkaitan dengan media. Kedua, berkaitan dengan masyarakat konsumen.Ketiga, berkaitan dengan media dan konsumen. Untuk yang ketiga ini, juga banyak penafsiran-penafsiran yang muncul. Penafsiran itu berkaitan dengan kapitalisme. Media, di sini, dikaitkan dengan sistem pemasaran produk-produk kapitalis. Media lebih mengarah kepada media massa yang lebih sering mempertontonkan iklan produk-produk kapitalis dalam mempengaruhi masyarakat untuk membeli produknya. Iklan yanag ada di media massa secara langsung atau tidak langsung menekan masyarakat untuk membeli produknya sehingga masyarakat menjadi konsumtif.
Akan tetapi, apakah media (massa) hanya sebagai alat kapaitalis (dengan sejuta produknya) untuk memaksa masyarakat dalam membeli produknya? Ternyata tidak. Media (massa) tidak hanya untuk para pengiklan saja. Media (massa) lebih dari itu. Media (massa) juga sebagai tempat/wadah dalam pertarungan sebuah wacana. Misalnya, pertarungan gender antara kaum feminis dengan masyarakat adat Bali pada media (massa) Bali Post, Majalah budaya Sarad dan Bali Lain (dalam tulisan Helen Creese: Reading The Bali Post: Women and Representation in Post-Suharto); wacana Kristen dengan Islam pada Kompas dan Republika (dalam tulisan Buni Yani: Reporting The Maluku Sectarian Conflict: The Politics of Editorship in Kompas and Republika Dailies).
Pertarungan gender  di dalam Bali Post, majalah budaya Sarad dan Bali Lain
Era pasca-Soeharto yang demokratis reformasi dibawa dengan harapan peluang baru untuk perubahan dalam struktur sosial dan politik. Era ini terjadi peningkatan aktivitas perempuan dalam berbagai bidang, khususnya di tingkat akar rumput. Misalnya: keikutsertaan perempuan dalam pemilu, sistem demokrasi, dan pertarungan dalam pilpres secara langsung. Keberhasilan perempuan di tingkat nasional, misalnya menjadikannya Megawati Soekarnoputri sebagai wakil presiden pada tahun 1999 dan sebagai Presiden pada tahun 2001. Padahal, di awal permulaan dalam perubahan sosial politik, sistem sosial politik dalam praktiknya masih didominasi oleh kaum laki-laki.
Bagaimana pergerakan perempuan di Bali?
Jatuhnya Soeharto muncul adanya optimisme perempuan Bali dalam segala bidang, tanpa membatasi laki-laki dan perempuan. Ini terlihat pada sebuah komentar editorial di edisi April 2000 pada majalah budaya Bali, yaitu: "Ketika lorong menuju demokrasi dibuka, tampaknya wanita telah menemukan arena besar di mana untuk memberikan suara dan perjuangan terhadap apa yang begitu lama telah mereka impikan.Artikel ini berusaha untuk mengeksplorasi definisi gender, isu gender dan peran perempuan Bali pasca-Soeharto di media massa Bali.
Padahal sejak akhir tahun 2002, kampanye media untuk mendefinisikan identitas Bali tentang slogan 'Ajeg Bali. Seperti kita ketahui bahwa, secara harfiah, ajeg berarti 'kuat' tetapi juga menyiratkan kegigihan dan keteguhan. Kegigihan dan kekuatan itu mencakup barbagai aspek yang berkaitan dengan adat Bali, misalnya: agama, tradisi dan budaya (adat, agama, konsumsi sektoral). Di sini juga menyangkut dorongan dalam stabilitas dan kepastian budaya Bali dalam menghadapi dunia kekinian. Wacana ajeg Bali ini juga sebagai usaha untuk menentukan agenda masa depan Bali dalam banyak hal tanpa mengabaikan atau meminggirkan keprihatinan nasional. Di sini, dalam hal ini Ajeg Bali, masyarakat Bali mencoba untuk melepaskan diri atau tidak bergantung pada pemerintah pusat dalam hal melindungi kekayaan sosial budayanya. Bali menjadi suatu yang mandiri. Ini dikarenakan Ajeg Bali dapat dipandang sebagai alat yang ampuh dalam perjuangan untuk peningkatan kesejahteraan di bidang ekonomi bagi masyarakat Bali.
Akan tetapi, bagi pandangan lain, Ajeg Bali merupakan re-tradisionalisasi dan kembali pada nostalgia kemurnian’ yang dirasakan orang Bali pada masa lampau.
Identitas kontemporer Bali dalam hal ini ciri-ciri budaya yang melibatkan perhatian terhadap isu-isu gender dan peran penting yang dimainkan oleh perempuan dalam pendefinisian pelestarian nilai-nilai Bali. Wacana identitas Bali ini hanya tertuju terutama pada wanita Bali. Bertitik tolak dari nostalgia dan budaya Bali masa lalu yang otentik sehingga menjadi ekspresi anti-Barat yang modern, di mana wanita modern otonom merupakan ancaman langsung terhadap peran laki-laki dan perempuan tradisional. Isu Gender yang berpusat di Bali membangun keterhubungan di tempat lain di Asia seperti Islam revivalisme dan penciptaan kembali Konfusianisme.
Sejumlah studi terbaru mendokumentasikan dampak dari ketidaksetaraan gender yang terlembagakan yang dihadapi perempuan Bali. Lyn
Parker dalam bukunya tentang kebangsaan dan kewarganegaraan di Bali, perempuan Bali masih
dicegah dari partisipasi penuh sebagai warga negara yang sama karena kekerabatan inheren dalam gender dan dalam praktek-praktek adat. Adat seperti ini merugikan perempuan baik dalam praktek, dari diri pribadi mereka tidak memiliki kebebasan dan akses mereka terhadap peran publik dan serta hak-hak. Perempuan Bali terus menjadi pengecualian dari partisipasi dalam pengambilan keputusan adat laki-laki hanya duduk dan berbicara di tingkat desa-lokal dusun (banjar) dewan, mereka tidak menikmati hak waris yang sama (hanya laki-laki yang dapat mewarisi sawah (irigasi sawah)), dan mereka kehilangan hak asuh anak-anak mereka dalam kasus perceraian. Wanita, terutama wanita pedesaan, juga telah terbukti memiliki akses terbatas pada kesempatan kerja di luar rumah, memiliki tingkat melek huruf yang lebih rendah sebagai akibat dari dekade-dekade sebelumnya yang minim pendidikan, dan menikmati manfaat yang lebih sedikit dari pariwisata karena akses ke industri juga dibagi sepanjang garis gender yang mendukung laki-laki.
Wanita Bali menghadapi tugas harian yang menampung banyak urusan domestik mereka, pekerjaan dan tanggung jawab sosial. Ideologi gender dalam orde baru menuntut pria dan wanita memainkan peranan yang berbeda, peran yang digambarkan sebagai pelengkap dan setara. Selama lebih dari tiga dekade, tugas domestik, keluarga dan perannya didefinisikan ulang setara dengan pentingnya program-program sosial pada tingkat nasional, juga sebagai ibu dan sebagai istri. Di Bali, ideologi gender menemukan gema dan didukung oleh kesejajaran dengan budaya patriarkal di Bali dan dalam kemasyarakatan.
Isu-isu feminis perempuan Bali di dalam kemasyarakatan dipertegas/diunggah di dalam dua majalah yang ada di Bali, yaitu majalah budaya Sarad dan Bali Lain, selain Bali Post. Langkah ini merupakan sebagai bentuk kepedulian perempuan Bali di dalam masyarakat patriakal.Untuk itu, media massa ini sering menampilkan isu-isu gender yang menggarisbawahi pentingnya perempuan dalam wacana identitas Bali. Mereka memfokuskan perhatian pada isu-isu perempuan dalam konteks pembentukan identitas budaya. Walaupun mereka berbeda pandangan terhadap perempuan Bali.
Seperti yang tertulis di dalam Sarad. Sarad menyangkal saran apapun bahwa perempuan Bali mengalami penindasan sistematis oleh budaya dan menunjukkan sifat yang terbuka dan demokratis terhadap budaya Bali. Sedangkan, Bali lain menuliskan/menggambarkan adanya pilihan untuk perempuan Bali dalam mengubah nasib mereka. Perempuan Bali perlu mengubah punggung mereka dari ('represif') praktek-praktek budaya Bali dan mencari alternatif di tingkat nasional dengan model argumen feminis.
Baik Sarad dan Bali Lain menarik perhatian pada sifat dan definisi perempuan pada budaya di Bali. Media ini berusaha untuk mengenali hak perempuan untuk kesetaraan dalam pengertian modern, tetapi pada saat yang sama mereka mewacanakan pembatasan kesetaraan sesuai dengan budaya dan gender. Nilai-nilai gender Bali dan peran yang disajikan sebagai mendukung wanita disediakan dengan cara yang sesuai dengan budaya, meskipun ada sedikit yang mampu mendamaikan praktek dan sikap mendukung dengan tujuan dari kebebasan pribadi.
Di Bali Post, isu-isu perempuan secara eksklusif ditujukan pada isu-isu umum hak asasi manusia dan partisipasi perempuan, tetapi bukan pada ranah budaya Bali. Ini dibuktikan dengan editorial pada Bali Post yang hanya sedikit mengyinggung tentang feminism yang ada di Bali. Bali Post, di sini, terlihat menginginkan di tempat yang aman di antara feminism dan budaya patriarkal. Ini terlihat dari tema-tema yang muncul di dalam pemberitaannya. Di sini terlihat adanya pemerkuatan norma-norma budaya Bali dan untuk melawan dampak negatif dari Barat terhadap wanita, dua tema utama muncul dalam tulisan-tulisan dari penulis budaya konservatif di Bali Post: pertama, bahwa perempuan Bali sebagai pembawa tradisi, pengasuh dan pendidik, dan kedua, perempuan Bali sebagaimana telah dibebaskan oleh budaya mereka dan agama.
Ya. Sejak jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, artikel yang diterbitkan di Bali Post telah terlibat secara teratur dengan masalah identitas gender daerah di Bali. Dalam konteks yang lebih luas, wacana gender mengenai peran dan tanggung jawab perempuan Bali yang ada di Bali Post dan majalah budaya seperti Sarad dan Bali Lain bergema dengan kebijakan negara pada akhir Orde Baru.
Isu Agama (sektarian) dalam Kompas dan Republika
Isu-isu atau peristiwa-peristiwa yang direpresentasikan di dalam suatu media tidak hanya menyangkut tentang masalah budaya atau adat istiadat setempat, seperti pada Bali Post, majalah budaya Sarad dan Bali Lain. Isu-isu lokal yang diangkat untuk menjadi isu nasional. Akan tetapi, isu-isu itu tak hanya berkutat pada budaya lokal atau paham-paham (isme) yang berasal dari Barat. Di Indonesia, isu agama bisa juga direpresentasikan ke dalam media massa. Contohnya, Kompas dam Republika yang mengangkat isu/konlik agama yang ada di Maluku.
Isu-isu sektarian (konflik agama) yang ada di media massa terlihat di Kompas dan Republika. Buni Yani pernah meneliti hal itu pada penelitian yang berjudul “Reporting The Maluku Sectarian Conflict: The Politics of Editorship in Kompas and Republika Dailies.” Buni Yani mencoba untuk melihat konflik agama Islam dengan agama Kristen yang direpresentasikan pada Kompas dan Republika pada tanggal 19 Januari—12 Maret 1999.
Buni Yani, di dalam penelitiannya, menyatakan bahwa terjadi adanya perbedaan pemberitaan antara Kompas dan Republika. Di sini, ada semacam pemihakan terhadap agama tertentu. Kompas lebih memihak pada agama Kristen, sedangkan Republika lebih memihak pada agama Islam.
Konflik  Ambon memang memakan banyak korban. Akan tetapi, di dalam pemberitaannya, jumlah korban pada laporan edisi 23 Januari 1999, Republika melaporkan jumlah korban lebih banyak dari Kompas. Alasan Republika kemungkinan adalah karena jumlah korban Muslim di awal konflik lebih banyak sehingga dengan pelaporan tersebut Republika mencoba menarik perhatian pemerintah terhadap keseriusan konflik.
Keberpihakan Kompas maupun Republika dalam pemberitaanya ini tidak lepas dari wartawan dan ideologi kedua media tersebut. Seperti kita ketahui bahwa Kompas lebih dekat dengan ideologi atau agama Katolik/Kristen, sedangkan Republika lebih dekat dengan agama Islam.
Seperti kita ketahui, bahwa Kompas didirikan pada tahun 1965 oleh sejumlah wartawan Katolik Cina dan Jawa dalam upaya untuk menyuarakan kepentingan politik Katolik (Hill 1994:83). Sedangkan, Republika didirikan pada tahun 1993 oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Republika bertujuan untuk menyuarakan kepentingan orang Muslim karena ada persepsi bahwa Muslim terpinggirkan dalam bidang politik dan ekonomi selama rezim Soeharto.
Semacam Refleksi
Perkuliahan Media dan Masyarakat Konsumen membawa pemahaman terhadap seluk beluk media massa, termasuk ideologi yang ada di dalamnya. Dengan mengikuti perkuliahan ini kita seakan dibawa ke dunia yang penuh dengan representasi. dan bagaimana media massa merepresentasikan suatu ideologi menurut ideologi yang diemban oleh media massa itu sendiri.
Setelah mengikuti perkuliahan Media dan Masyarakat Konsumen, kita seakan diharapkan tidak langsung memakan berita yang ditulis dalam suatu media massa. Kita seakan dibawa dengan sejuta pertanyaan kita membawa berita maupuun iklan yang ada di media massa. Dan kita diberita hak untuk menerima, menolak, maupun mengomentari pemberitaan secara masuk akal dan benar dalam ranah jurnalistik yang bertanggung jawab

Semoga perkuliahan ini sebagai langkah atau strategi dalam menulis di media massa. Ini dikarenakan, menulis di media massa itu juga perlu adanya strategi. Ideologi apa yang akan kita bawa? dan apa ideologi media massa tersebut?

1 komentar:

  1. The Borgata Hotel Casino and Spa Launches in Atlantic City
    Borgata Hotel Casino and Spa will 구리 출장샵 debut 강릉 출장샵 a fully integrated 과천 출장샵 online gaming venue with a 진주 출장마사지 retail location, as well as retail  Rating: 포항 출장안마 4.6 · ‎1,077 reviews

    BalasHapus